Selasa, 26 Maret 2013

Kail Rejeki dari Seni Pop Art


Potret diri tampil unik dan berbeda 
disusun dari potongan-potongan warna
yang bervariasi dan amat artistik,
inilah seni pop art!
Mulai digandrungi di Indonesia belakangan ini.
Pelaku bisnis seni pop art pun kebanjiran order.

Pengerjaan pop art kental unsur desainnya.
Mengilustrasikan potret manusia gunakan garis-garis tegas
dipadu dengan permainan warna yang semarak.

Hasil ilustrasi bisa dituangkan pada berbagai media,
seperti tembok, kanvas, kaus, mug, atau pin.

Seni pop art dikenal tahun 1950-an di Inggris.
Masuk ke Indonesia sekitar 1990.
Wedha Abdul Rasyid serius kembangkan seni ini,
dalam wadah Wedha's Pop Art Portrait (WAPP) di Jakarta.
Pakem ilustrasinya anti garis lengkung,
melulu garis tegas, dan pengaturan komposisi warna.

Seni pop art bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan.
Indira Yuniarti, Mahasiswi PDC Telkom, Bandung,
salah satu yang berhasil kail rejeki
dari seni pop art.
Sejak kelas 3 SMU, bergabung di WAPP.
Kemampuannya kian terasah,
sertifikat dari WPAP Community pun dikantonginya.
Kini berani tawarkan jasa
pembuatan poster kartun vektor dan pop art.

Lantaran masih kuliah, omzet bisnisnya belum besar.
“Semua pesanan saya kumpulkan dulu,
dan dikerjakan pada akhir pekan,” ujar Indira.

Pelanggan yang berminat
cukup kirimkan potret wajah yang diinginkan.
Pemesan bisa memilih hard copy atau soft copy.
Versi soft copy dihargai Rp 50.000 per wajah,
jika inginkan versi hard copy,
tambah ongkos cetak dan ongkos kirim
yang besarnya bervariasi
tergantung dari ukuran dan lokasi.

Seminggu, bisa dapat 9-10 pesanan.
sebulan omzetnya sekitar Rp 2 juta.
"Lumayan, ini bisnis sambilan.
Ke depan, saya akan serius geluti usaha ini," ungkapnya.

Media yang digunakan masih terbatas kertas dan digital,
dia optimistis, bisa berkembang seperti WPAP Community.
Asal tahu, hasil ilustrasi pop art yang dibuat di WPAP
bisa dicetak dalam beragam media, dari kanvas
hingga merchandise seperti kaus, gelas, dan pin.

Berpromosi via jejaring sosial seperti blog, Twitter, dan Facebook.
"Pelanggan masih sekitar Jakarta, Bandung, dan Jogja,” imbuhnya.

Ageng Raditya di Tangerang, Banten.
Lulusan komunikasi visual Institut Seni Indonesia, Yogyakarta,
menggeluti bisnis pop art sejak tiga tahun silam.

Menurutnya, pop art cenderung pakai warna solid dan berkilau,
sehingga hasilnya memikat orang.
Inilah beda pop art dengan gambar ilustrasi biasa.

Ageng biasanya akan meminta foto calon klien.
Dari potret asli itu kemudian dia membuat dimensi gambar
bentuk wajah, seperti letak mata, hidung, dan bagian muka.
Lalu, membuat nuansa warna seperti keinginan pelanggan.

Sebulan bisa kerjakan 10 pop art yang dituangkan
dalam beragam media, namun mayoritas di kanvas.
Kerap membuat pop art dari figur publik, seperti Jokowi.

Patok tarif Rp 300.000 untuk satu desain pop art,
bisa dicetak di kanvas berukuran A3.
Biasanya, sekaligus minta dibingkai.
Tiap karyanya, dia membanderol Rp 500.000.
Omzetnya bisa capai Rp 5 juta dalam sebulan.

Pasarkan karyanya melalui internet.
Kadang, mengikuti pameran seni.
Dari situ, pesanan meningkat dan namanya kian dikenal.
pelanggannya tersebar di Jakarta, Surabaya, hingga Aceh.

Joko Hartono terpikat terjuni bisnis pop art
karena dikenalkan teman seniman asal Singapura.
Lulusan ilmu desainer di Teknologi Informasi STIKOM Surabaya ini
putuskan jadi perwakilan Personal Art di Indonesia.

Personal Art adalah perusahaan seni pop art
bermarkas di Singapura.
Menurut Joko, gaya Personal Art terinspirasi Andy Warhol,
seniman pop art Amerika Serikat era 1960-an, .
“Namun setelah membuka pasar di Indonesia,
Pak Wedha juga salah satu inspirasi kami,” ujarnya.

Joko mengaku, bisa raup omzet Rp 4 juta sebulan.
“Rata-rata yang pesan, karena mau memberi kado.
Pop Art itu unik, wajah orang 100% bisa tampil beda,
tanpa meninggalkan raut aslinya.
Jadi, cocok sebagai hadiah spesial,” ungkapnya.

Joko pasang tarif berbeda sesuai media.
Termurah, poster ukuran 20 cm x 20 cm harga Rp 98.000.
Termahal di kanvas ukuran 12 cm x 160 cm dengan tarif Rp 435.000.
Menarik bukan?

sumber: Surabaya Post Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar